MENINGKATKAN BUDAYA PELAYANAN
Penulis : Jumat,19 Maret 2010 |
Berbicara soal pelayanan, sampai saat ini sebagian masyarakat kita memang masih memandang sebagai kegiatan yang belum ideal, belum sesuai harapan. Pada berbagai forum (misalnya: SMS centre, pikiran pembaca atau telephon) masih saja dikemukakan adanya perilaku mempersulit proses yang semestinya bisa dipermudah. Masyarakat belum merasakan nikmatnya mengurus administrasi maupun layanan dasar masyarakat. Di level operasional lapangan masih terasa berbelit dan melewati banyak pintu. Itupun belum cukup, masih juga berkembang kewajiban mengeluarkan beaya ekstra yang tak bisa dipertanggungjawabkan peruntukannya. Semua serba tidak jelas. Belum lagi pemohon harus berhadapan dengan aparat yang tidak ramah, muka suram dan tidak berempati. Kondisi ini menambah deretan panjang keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan di birokrasi kita.
Sebagai upaya memberikan kemudahan, sistem dan prosedur pada umumnya sudah diciptakan, akan tetapi aplikasi belum sesuai dengan SOP. Mengapa hal itu sulit dilakukan? Dan mengapa aparat serta masyarakat belum memiliki semangat yang sama dalam hal penegakan? Ini persoalan rumit yang sulit diurai. Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada dewasa ini masih ada sebagian aparatur kita yang memanfaatkan peluang mendapatkan tambahan penghasilan melalui jasa pelayanan, disisi lain sebagaian masyarakat kita juga ada yang tidak percaya bahwa aparat bisa berbuat baik melaksanakan tugas sesuai prosedur tanpa perlu imbalan. Dari berbagai analisis menyimpulkan, bahwa salah satu faktor ketidakmampuan dalam mewujudkan sebuah regulasi adalah belum adanya budaya kerja yang terintegrasi.
Menurut Ratminto & Winarsih, A.S. (2008) untuk menciptakan pelayanan yang baik diperlukan adanya budaya pelayanan yang berorientasi pada pelanggan atau pengguna jasa. Dari hasil kajiannya, di Indonesia sebagian besar organisasi publik belum memiliki memiliki budaya seperti itu. Budaya yang berkembang belum bertipe integrative, tetapi bertipe Caring, yaitu sangat rendah terhadap kinerja pelaksanaan tugas, tetapi memiliki perhatian yang tinggi terhadap hubungan antar manusia. Hal ini dicirikan dengan: (1), Kurang memperhatikan kepentingan klien atau pengguna jasa. (2), Lebih merasa sebagai abdi negara dari pada abdi masyarakat. (3), Memiminalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif. (4), Menghidari tanggungjawab. (5), Menolak tantangan, dan (6), Tidak suka berkreasi dan inovasi dalam melaksanakan tugas-tugas (hal. 120). Sebagai solusinya, perlu diciptakan situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik. Kondisi ini disebut dengan integrative, yakni sebuah kondisi dimana organisasi memiliki perhatian yang tinggi terhadap orang maupun kinerja.
Beberapa nilai dasar yang bertipe integrative, sebagaimana dikembangkan oleh BPKP dan Kep. MENPAN no. 25 tahun 2002 meliputi beberapa aspek, diantaranya adalah: pertama, Profesionalisme, yang berarti bahwa setiap pegawai harus memiliki kapabilitas, disiplin pada tugas, berorientasi pada hasil serta memiliki integritas yang tinggi untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. Kedua, Kerjasama, yakni menghindari ego sektoral yang mementingkan bagian organisasinya. Ketiga, Keserasian, keselarasan dan keseimbangan, yakni tekad dan semangat dari semua unit organisasi untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan tetap memperhatikan pencapaian akhir bagi organisasi secara keseluruhan.
Di kabupaten Bantul, sebagaimana diungkapkan oleh Sekda, Drs. Gendut Sudarto, KD, BSc, MMA pada acara diklat SCBD bagi pejabat eselon II (29-5-2009) pembinaan PNS selalu diarahkan menuju terciptanya pegawai yang profesional, netral dan sejahtera. Hal ini penting bahkan strategis karena pegawai yang profesional akan selalu belajar untuk meningkatkan kualitas, bekerja sesuai ketentuan, produktif dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku. Netral, difahami tidak berpihak, semua dilayani dengan standar yang sama dan sejahtera berarti terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak. Strategi ini dimaksudkan agar PNS itu dapat bekerja dimana saja sehingga mempermudah proses mutasi dan promosi. Disamping itu dengan kemampuan yang memadai akan memperlancar penyelenggaraan tugas pelayanan di SKPD masing-masing. Bahkan lebih lanjut Gendut Sudarto mengemukakan bahwa 3 pilar itu belum cukup tapi harus ditambah dengan kemampuan spiritual (iman), ikhlas ketika bekerja. Adapun upaya yang ditempuh untuk meraih hal tersebut adalah melalui diklat penjenjangan dan diklat teknis fungsional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun non pemerintah, pembinaan mental spiritual serta pengawasan secara terstruktur.
Sebagai sebuah organisasi besar bernama pemerintah daerah tentunya berharap seluruh pegawainya memiliki jiwa pelayan. Bupati Bantul, Drs. H.M. Idham Samawi yang telah mendeklarasikan diri sebagai kepala pelayan sudah seharusnya didukung agar tugas pokok memberikan pelayanan kepada masyarakat berjalan dengan lancar. Semoga hari jadi ke 178 tahun 2009 ini menjadi momentum introspeksi kita bersama menuju tercapainya budaya integrative demi terselenggaranya pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat.
Helmi Jamharis, Kadis. Perijinan Bantul